Dalam fikih Syafi’i telah dijelaskan yang dimaksud darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, bukan keluar sebelumnya.
Ahmad bin Al Husain Al Ashfahaniy Asy Syafi’i atau yang kita kenal dengan Abu Syuja’ mengatakan dalam Matan Taqrib,
والنفاس : هو الدم الخارج عقب الولادة
“Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan.” (Mukhtashor Abi Syuja’, hal. 63).
Muhammad bin Qosim Al Ghozzi, penulis Fathul Qoriib atau Al Qoulul Mukhtar (penjelasan dari Matan Taqrib) berkata, “Darah yang keluar bersama anak atau keluar sebelumnya tidaklah disebut darah nifas. Darah tersebut termasuk darah fasad (darah yang rusak).” (Lihat Hasyiyah ‘alal Qoulil Mukhtar, 1: 98).
Disebutkan pula dalam Al Iqna’ (1: 177) bahwa secara bahasa nifas itu berarti melahirkan anak. Secara istilah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, setelah isi rahim dari hamil itu keluar. … Tidak disebut darah nifas jika sebagai tanda akan melahirkan, darah tersebut termasuk darah fasad (darah rusak).
Hal yang serupa dengan penjelasan di atas disebutkan dalam Kifayatul Akhyar, hal. 116.
Pakar fikih Syafi’i saat ini, Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho hafizhohullah mengatakan, “Darah yang keluar di tengah-tengah rasa sakit hendak melahirkan atau berbarengan saat keluarnya bayi, tidaklah disebut darah nifas karena darah itu keluar sebelum keluarnya anak. Darah seperti itu tergolong darah fasad (rusak). Oleh karena itu, masih tetap wajib shalat saat terasa ‘mules’ (sakit) hendak melahirkan walau terlihat darah saat itu. Jika tidak mampu shalat ketika itu, maka shalatnya wajib diqodho’.” (Al Fiqhul Manhaji, hal. 82).
Pendapat di atas juga menjadi pegangan ulama Hanafiyah dan juga Malikiyah. Berbeda halnya dengan ulama Hambali. Mereka menganggap bahwa darah nifas itu sudah dimulai ketika muncul darah saat merasakan nyeri, mules atau sakit hendak melahirkan meskipun dua atau tiga hari sebelumnya. Lihat pembahasan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah dalam kata “nifas”.
Kesimpulannya, darah nifas teranggap setelah melahirkan -berdasarkan kesepakatan para ulama-, atau bersamaan dengan melahirkan menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama), bukan sebelum melahirkan menurut pendapat yang lebih kuat.
Wallahu a’lam bish showwab. Semoga yang singkat ini bermanfaat bagi para ibu yang akan melahirkan.
—
@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 6 Rajab 1434 H
Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat